ADAT ISTIADAT PADA PERNIKAHAN ORANG BATAK TOBA
Suku Batak terkenal dengan adat istiadatnya yang sangat rumit dan unik, posisi adat dalam suku Batak berada pada urutan kedua setelah Agama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari adat memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Batak, adat menjadi alat pemersatu antara individu dengan individu yang lain, antara satu keluarga dengan keluarga lain, antara marga yang satu dengan marga yang lain.
Suku Batak terkenal dengan adat istiadatnya yang sangat rumit dan unik, posisi adat dalam suku Batak berada pada urutan kedua setelah Agama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari adat memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat Batak, adat menjadi alat pemersatu antara individu dengan individu yang lain, antara satu keluarga dengan keluarga lain, antara marga yang satu dengan marga yang lain.
Adat
sangat dijunjung tinggi keberadaannya oleh orang Batak karena adat menjadi
sebuah alat dapat mengatur kekerabatan suku-suku Batak. Dengan mengetahui adat,
maka orang Batak akan bisa memposisikan dirinya ketika berkenalan dengan orang
baru hanya dengan menanyakan marga orang tersebut. Dalam acara-acara Batak juga
tidak lepas dari adat, baik acara sukacita maupun dukacita. Ciri yang paling
khas adalah kehadiran ulos dalam setiap acara Batak.
Salah
satu yang cukup rumit dan unik dalam adat Batak adalah pernikahan, bagi suku Batak
pernikahan adalah sebuah acara yang sangat berharga. Pernikahan bagi masyarakat
Batak khususnyaorang Toba wajib dilaksanakan dengan menjalankan sejumlah
ritual perkawinan adat Batak setelah menerima pemberkatan dari Gereja.
Dalam keunikan dan ragam keistimewaannya, upacara pernikahan adat Batak Toba
cukup merepotkan, apabila dibandingkan dengan pernikahan suku-suku lain
yang ada di Indonesia. Acara adat Batak bisa berlangsung dari pagi hingga malam
hari pukul 10.00WIB karena panjangnya tata acara adat yang dilaksanakan. Sehingga
bagi mereka yang baru pertama mengikuti acara nikah orang Batak akan merasa
heran dengan panjangnya acara tersebut.
Pernikahan
Batak akan dipandang sah dalam masyarakat harus mengikuti tata adat yang
berlaku. Walau sebenarnya pemberkatan di Gereja adalah hal yang paling utama,
namun jika tidak melakukan acara adat secara penuh (adat na gok) maka keluarga yang baru terbentuk belum sah
posisinya dalam adat batak.
Berikut
ini tata adat dalam pernikahan Batak yang disebut dengan adat na gok pernikahan orang
Batak:
1. Mangarisika/ Perekenalan dan bertunangan.
Dalam
hal ini pihak pria melakukan kunjungan tidak resmi ke rumah wanita dalam rangka
penjajakan atau perkenalan pihak keluarga pria kepada orang tua wanita,
biasanya diutus dua atau tiga orang dari pihak pria. Jika pihak wanita terbuka
untuk menerima peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda kasih (tanda holong dan pihak wanita memberi
tanda mata) berupa kain, cincin
emas, dan lain-lain.
2. Marhori-hori Dinding/Marhusip
Marhusip
(Indonesia: berbisik), marhusip
bukan dalam artian pihak pria dan pihak wanita berbisik-bisik. Akan tetapi
pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas
dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum. Tahap ini adalah
kelanjutan dari mangarisika, yaitu
acara bertamu antara orang tua serta kerabat pria kepada orang tua serta
kerabat wanita.
Akan
tetapi akhir-akhir ini acara Marhori hori Dinding sudah agak melenceng dari
sebenarnya dimana acara ini tidak hanya menjajaki lagi namun sudah langsung
membicarakan hal-hal pokok seperti berapa besarnya nilai Mas Kawin / sinamot
yang akan diberikan pihak pria kepada pihak perempuan tersebut, tempat Pesta
Pernikahan, akan tetapi pembicaraan ini belum bersifat resmi.
3. Marhata Sinamot
Sinamot
adalah tuhor ni boru, dalam
adat Batak, pihak pria “membeli” wanita yang akan jadi istrinya dari calon
mertua. Jumlah sinamot yang
akan dibayarkan pria kepada pihak wanita dibicarakan dalam acara ini, sebelum
membicarakan jumlah sinamot, terlebih
dahulu acara makan bersama yang dihadiri beberapa orang pihak pria dan wanita.
Acara ini dilakukan di rumah kaum wanita, pihak pria (tanpa pengantin) datang
ke rumah wanita membawa juhut/daging
dan makanan untuk dimakan bersama. Setelah makan bersama dilanjutkan dengan
pembagian Jambar Juhut (daging)
kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :
1.
Kerabat marga ibu (hula-hula)
2.
Kerabat marga ayah (dongan tubu)
3.
Anggota marga menantu (boru)
4.
Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
5.
Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat
menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
Dalam
acara ini ada beberapa hal pokok yang dibicarakan yaitu:
1.
Sinamot.
2.
Ulos
3.
Parjuhut dan Jambar
4.
Jumlah undangan
5.
Tanggal
6. tempat pesta.
7.
Tatacara adat
5. Martumpol (baca : martuppol)
Acara
ini adalah penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah
pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Martumpol dilakukan biasanya dua
minggu sebelum pesta pernikahan. Dalam acara ini kedua pengantin ikut hadir
serta anggota keluarga ke Gereja. Selanjutnya pejabat gereja mewartakan rencana
pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang biasa disebut dengan Tingting (dibaca : tikting) seperti
pemberitahuan bahwa kedua belah pihak akan menikah. Tingting harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut,
setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat
dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).
6. Martonggo Raja atau Maria Raja.
Martonggo
raja adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak
diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk
empersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis, dalam
acara ini biasanya dihadiri oleh teman satu kampung, dongan tubu (saudara).
Pihak hasuhuton (tuan rumah)
memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta (teman sekampung) untuk mebantu mepersiapkan acara dan
penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pemberkatan
pernikahan kedua mempelai dilakukan di Gereja oleh Pendeta, setelah pemberkatan
pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut
gereja. Setelah pemberkatan dari Gereja selesai, kemudian kedua belah pihak
pulang ke rumah untuk mengadakan acara adat Batak dimana pesta ini dihadiri
oleh seluruh undangan dari pihak pria dan wanita.
8. Pesta Unjuk
Setelah
selesai pemberkatan dari Gereja, kedua mempelai juga menerima pemberkatan dari
adat yaitu dari seluruh keluarga terkhusus kedua orang tua. Dalam pesta adat
inilah disampaikan doa-doa bagi kedua mempelai yang diwakili dengan pemberian
ulos. Kemudian dilakukan pembagian jambar (jatah) berupa daging dan juga uang
yaitu:
1.
Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak wanita adalah jambar juhut (daging) dan
jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
2.
Jambar yang dibagi-bagikan bagi pihak pria adalah dengke (baca : dekke/ ikan
mas arsik) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri
dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual)
Dialap
Jual artinya jika pesta pernikahan diadakan di kediaman kaum wanita, maka
dilakukanlah acara membawa mempelai wanita ke tempat mempelai pria.
10. Ditaruhon Jual.
Jika
pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai
wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi
oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib
memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru
tidak dikenal.
11. Paulak Unea
a.
Seminggu setelah pesta adat dan wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka
pihak pria, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya
untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik,
terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa lajangnya (acara ini lebih
bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di
dalam pernikahan).
b.
Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung
halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.
12.
Manjae
Setelah
beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau
pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah
(tempat tinggal) dan mata pencarian. Biasanya anak paling bungsu mewarisi rumah
orang tuanya.
13. Maningkir Tangga (baca: manikkir tangga)
Setelah
pengantin manjae atau tinggal
di rumah mereka, maka orang tua serta keluarga pengantin datang untuk
mengunjungi rumah mereka, dan diadakan makan bersama.
Demikianlah
tata pernikahan dalam adat Batak yang disebut dengan adat na gok, akan tetapi akhir-akhir ini tidak semua lagi urutan
ini dilakukan seperti semula, terutama orang-orang Batak yang diperantauan.
Beberapa sudah dibuat menjadi lebih simpel, ada juga sebagian yang digabungkan
pelaksanaannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar