Kebudayaan Batak Toba
BATAK TOBA
Batak Toba adalah sub atau bagian
dari suku bangsa Batak yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Parsoburan,
Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya. Silindung,
Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku
bangsa Batak (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga
yang berbeda.
Pada Desember 2008, Keresidenan
Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara. Toba saat ini masuk dalam
wilayah Kabupaten Toba Samosir yang beribukota di Balige.
Kabupaten Toba Samosir dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No 12. Tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten
Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal, di Daerah
Tingkat I Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan
pemekaran dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara.
Marga pada suku Batak Toba
Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan
pertanda dari keluarga mana ia berasal. Orang Batak selalu memiliki nama
Marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah
(patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus
menerus. Dikatakan sebagai marga pada suku bangsa Batak Toba
ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.
Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4
(empat) marga, yaitu:Simangungsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede,
merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba.
Tarombo atau Silsilah
Silsilah atau Tarombo merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak
mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan
mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan
teman semarganya (dongan tubu).
Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau
marga.
Falsafah dalam adat batak toba
Falasafah adat batak toba dikenal
dengan Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:
1. Somba
Marhula-hula
2. Manat Mardongan
Tubu
3. Elek Marboru
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Kultur atau Budaya dalam Batak
Toba
1. Perkawinan
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak-Toba menganut hukum
eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam
kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak-Toba: orang tidak mengambil isteri dari
kalangan kelompok marga sendiri (namariboto),
perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat
patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis
lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis
laki-laki.
Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat
Batak-Toba, yakni (1) Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan
(2) Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan demikian
mereka akan dikaruniai banyak anak.
Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan,
perkawinan adat Bata Toba dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan:
- Unjuk: ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus perkawinan biasa (unjuk);
- Mangadati: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak; dan
- Pasahat sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalua dan ritusnya diadakan setelah memiliki anak.
Tahapan Perkawinan Adat Batak Toba
Ini adalah tahapan dari perkawaninan adat batak toba:
A. Paranakkon Hata:
- Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan);
- Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak laki-laki pada hari itu juga; dan
- Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.
B. Marhusip
- Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan);
- Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya; dan
- Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta.
C. Marhata Sinamot
- Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta.
- Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman.
- Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
D. Marpudun Saut
Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti
mengenai sinamot,
ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamotkepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat
upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos
kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.
Tahapannya sbb.:
- Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak Hata, Marhusip, dan marhata sinamot; dan
- Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun(disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Itulah yang dimaksud dengan dipudun saut.
Setelah semua itu
diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru, maka tahap selanjutnya
adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka maskawin) kepada parboru sesuai
dengan yang dibicarakan.setelah bohi ni sinamot sampai kepada parboru, barulah
diadakan makan bersama dan padalan jambar (pembagian jambar). Dalam mardipudun
saut tidak ada pembicaraan tawarmenawar sinamot, karena langsung diberitahukan
kepada hadirin, kemudian parsinabung parboru mengambil alih pembicaraan.
Pariban adalah pihak pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara, disusul
oleh simandokkon, pamarai, dan terkahir oleh Tulang. Setelah selesai
pembicaraan dengan si jalo todoan maka keputusan parboru sudah selesai;
selanjutnya keputusan itu disampaikan kepada paranak untuk melaksanakan
penyerahan bohi ni sinamot dan bohi ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan
pada puncak acara, yakni pada saat upacara perkawinan nanti.).
E. Unjuk
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun
upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya:
1. Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan
dengan menentukan tempat duduk. Mengenai tempat duduk di dalam upacara
perkawinan diuraikan dalam Dalihan
Na Tolu.
2.
Mempersiapkan makanan,
3.
Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo,
4.
Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan
mas),
5.
Doa makan,
6.
Membagikan Jambar,
7. Marhata adat – yang terdiri
dari: tanggapan oleh parsinabung
ni paranak, dilanjutkan oleh parsinabung
ni parboru, dan Tanggapan parsinabung
ni paranak, [4] tanggapan parsinabung
ni parboru,
8.
Pasahat sinamot dan todoan,
9.
Mangulosi, dan
10.
Padalan Olopolop.
F. Tangiang Parujungan
Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak
Toba.
2. Mamaholi
Mamoholi disebut manomu-nomu yang
maksudnya adalah menyambut kedatangan (kelahiran) bayi yang dinanti-nantikan
itu. Disamping itu juga dikenal istilah lain untuk tradisi ini sebagai mamboan
aek ni unte yang secara khusus digunakan bagi kunjungan dari keluarga
hula-hula/tulang.
Pada hakikatnya tradisi mamoholi
adalah sebuah bentuk nyata dari kehidupan masyarakat Batak tradisional di bona
pasogit yang saling bertolong-tolongan (masiurupan). Seorang ibu yang baru
melahirkan di kampung halaman, mungkin memerlukan istirahat paling tidak 10
hari sebelum dia mampu mempersiapkan makanannya sendiri. Dia masih harus
berbaring di dekat tungku dapur untuk menghangatkan badanya dan disegi lain dia
perlu makanan yang cukup bergizi untuk menjamin kelancaran air susu (ASI) bagi
bayinya.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
itu, maka saudara-saudara sekampung akan secara bergantian dari hari ke hari
berikutnya mempersiapkan makanan bagi si ibu berupa nasi, lauk daging ayam atau
ikan (na tinombur), jenis sayuran yang dipercaya membantu menambah
produksi ASI (seperti bangun-bangun) dan lain-lain. Selain makanan siap saji,
ada juga keluarga-keluarga yang membawa bahan makanan dalam bentuk mentah
seperti beras, ayam hidup, ikan hidup dan yang lebih mentah lagi dalam bentuk
uang. Sehingga paling sedikit untuk dua atau tiga bulan berikutnya si ibu yang
baru melahirkan itu tidak perlu khawatir akan makanan yang ia butuhkan untuk
merawat bayinya sebaik-baiknya sampai ia kuat untuk melakukan tugas-tugas
kesehariannya.
Kunjungan pihak hulahula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa syukur mereka atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa hari setelah kelahiran bayi itu dalam rombongan lima atau enam keluarga yang masing-masing mempersiapkan makanan bawaannya, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak makanan yang tersedia sekaligus.
Untuk menyambut dan menghormati kunjungan hulahula itu maka tuan rumah pun mengundang seluruh keluarga sekampungnya untuk bersama-sama menikmati makanan yang dibawa oleh rombongan hulahula itu. Setelah makan bersama, anggota rombongan hulahula akan menyampaikan kata-kata doa restu semoga si bayi yang baru lahir itu sehat-sehat, cepat besar dan dikemudian hari juga diikuti oleh adik-adik laki-laki maupun perempuan.
Kunjungan pihak hulahula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa syukur mereka atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa hari setelah kelahiran bayi itu dalam rombongan lima atau enam keluarga yang masing-masing mempersiapkan makanan bawaannya, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak makanan yang tersedia sekaligus.
Untuk menyambut dan menghormati kunjungan hulahula itu maka tuan rumah pun mengundang seluruh keluarga sekampungnya untuk bersama-sama menikmati makanan yang dibawa oleh rombongan hulahula itu. Setelah makan bersama, anggota rombongan hulahula akan menyampaikan kata-kata doa restu semoga si bayi yang baru lahir itu sehat-sehat, cepat besar dan dikemudian hari juga diikuti oleh adik-adik laki-laki maupun perempuan.
3. Kematian
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan
mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian.
Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati.
Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di
bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati).
Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat
anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan
mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan
kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas
masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan
untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu)
si orang mati.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat
perlakuan adat apabila orang yang mati:
1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai
anak (mate di paralang-alangan / mate punu),
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan
anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar),
3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa,
bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate
hatungganeon),
4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya
yang belum menikah (mate sari matua), dan
5. Telah bercucu tidak harus dari semua
anak-anaknya (mate saur matua).
Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena
mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian
tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga,
dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan
dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
4. Mangapuli
Kegiatan Mangapuli dalam adat batak adalah memberikan penghiburan kepada
keluarga yang sedang berduka cita. Hanya saja Mangapuli tidak dilakukan secara
asal-asal, semua ada prosedurnya dan prosedur ini erat hubunganya dengan
adat Batak Toba. Kita dan Pihak Keluarga datang membawa makanan, minuman untuk
dimakan bersama-sama di rumah duka. Keluarga yang berduka sama sekali tidak
direpotkan dengan makanan namun cukup menyediakan piring-piring, dan air putih
saja.
Dan pihak keluarga yang berduka juga biasanya
menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang sudah datang memberikan
penghiburan (dukungan moril) kepada keluarga yang ditinggalkan yang biasa
disebut Mangampu hasuhuton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar